#NgomonginBuku5 II Anak Semua Bangsa
Judul: Anak Semua Bangsa
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 538
Membaca buku Pramoedya Ananta Toer (Eyang Pram), membuat saya membayangkan latar di tahun sebelum 1900 sebelum ibu Kartini berjaya dengan semboyannya Habis Gelap Terbitlah Terang. Ketegangan-ketegangan, keresahan, kesusahan dan berbagai masalah yang disajikan pada buku Anak Semua Bangsa membawa kita memahami bahwa kolonial sejatinya tidaklah memberikan kebaikan pada negara jajahannya. Pribumi menjadi susah. Segala harta kekayaan dihisap bagai lintah yang tak terlihat, tetapi menghabiskan begitu banyak darah. Bahkan harga diri pribumi menjadi taruhannya. Nusantara menjadi papan catur dengan pion-pion pribumi yang lemah. Menjadi lebih pahit ketika pribumi yang merasa telah digunakan dan mendapat jabatan dari kolonial merasa menjadi manusia penuh kehormatan, mejadi segala-galanya dalam riuh kehidupan. Membuat sesama pribudi menjadi susah adalah kesukaannya, bahkan merebut harga diri sesama pribudi menjadi pekerjaan yang menjadi halal. Saling fitnah dan bunuh sesama etnis karena hasutan kolonial begitu terasa dalam setiap detail ceritanya. Kesusahan-kesusahan tokoh yang sajikan begitu amat terasa.
Banyak hal yang bisa dipetik dari membaca buku kedua Eyang Pram dari tetraloginya ini. Minke yang begitu mengagungkan pengetahuan dan Eropa menjadi paham, bahwa Eropa tidaklah negeri dengan segala kebaikan. Nyatanya pribumi, termasuk dirinya sendiri yang merupakan keturunan asli pribumi menjadi amat muram dengan kelakuan kolonial. Begitu mudahnya membuat berita benar menjadi berita burung dan menghilang. Menghasut sesama orang begitu mudahnya. Nyawa begitu murah diperjualbelikan demi pengakuan, jabatan dan kekayaan. Gambaran tokoh Minke menggambarkan betapa negara Eropa hanya berkembang pesat pada ilmu pengetahuan dan teknologinya semata. Moralitas dan religius bahkan tidak berkembang sama sekali. Kebaikan-kebaikan ditutup matanya. Ilmu pengetahuan dan teknologi disebarkan di negara jajahannya hanya untuk merampas segala macam seumber daya alam termasuk segala kekuatan pribumi untuk hidup. Bahkan termasuk nyawa pribumi. Di mata Eropa, pribumi tidak ada artinya kecuali mejadi kuli-kuli untuk kejayaan bangsa Eropa. Minke sadar, bahwa dirinya dibutuhkan untuk merubah negerinya. Memperbaiki harga diri pribumi di mata dunia dan membuktikan bahwa pribumi memiliki harga diri. Memiliki kekuatan yang tak terbantahkan. Buku kedua ini, menceritakan tokoh utama, Minke, mulai mengenali sejatinya kehidupan seorang Pribumi, di tengah kemewahan kolonial Eropa di Indonesia.
============================================
Membaca buku ini memberikan pengetahuan tentang sejarah kelam pribumi pada saat kejayaan Gula Eropa di Indonesia. Mengajarkan kepada kita untuk menjadi nasionalis, mengajarkan kepada kita untuk mencintai negeri Nusantara. Menolong sesama pribumi dan antar etnis. Nusantara tidak hanya dibangun oleh pribumi semata, tetapi berbagai etnis. Bahasa lama yang masih dipertahankan dan dicetak langsung sesuai dengan yang lama, membuat benar-benar merasakan kehidupan dulu.